Deru ombak Pantai Lambaro, Pulau Breueh membuat malam kehilangan sepi padahal langit sedang tidak bercahaya.
Hanya ada cahaya dari senter milik warga yang sedang menembus laut untuk melihat ikan noh untuk ditangkap.
Ada juga cahaya dari sisa api pembakaran ikan dan lampu bekas home stay warga yang kini menjadi balai Lembaga Ekowisata Pulau Aceh (LEPA).
Sejumlah pelancong dari berbagai media yang difasilitasi Disbudpar Aceh menikmati ikan bakar yang menerbangkan aroma pembangkit selera makan.
Ikan-ikan segar hasil tangkapan warga itu satu persstu ludes disantap pengunjung usai lelah mengekplore sejumlah spot wisata yang ada di Pulau Breueh.
Di bibir pantai berhamparan pasir putih, api yang membakar kayu menyala-nyala hingga membuat malam yang gelap menjadi lebih bercahaya.
Usai makan ikan bakar, sejumlah anak muda dari berbagai gampong yang ada di Pulau Breueh duduk mengelilngii Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh.
Bersama mereka ada Geuchik, ketua pemuda dari berbagai gampong, Danramil, Kabid Pariwisata Aceh Besar dan berbagai pihak lainnya.
Sedangkan rombongan wartawan berdiri untuk menyimak musyawarah Camp Punyi.
Sebagaimana diketahui, Pante Lamboro oleh warga Pulau Aceh dijadikan sebagai tempat penangkaran beragam penyu hasil tangkapan warga.
Jadi, adat gampong yang belum melarang pengambilan telur penyu, kecuali telur penyu hijau, wajib diberikan untuk ditetaskan kembali di camp punyi.
“Kecuali di Pante Weung yang sudah jadi taman ekowisata, di sana tidak dibolehkan lagi untuk mengambil telur penyu,” kata Fauzi Ulfa, pengist wisata setempat.
Dalam musyawarah Camp Punyi itu, Mulyadi, perwakilan dari anak-anak muda dari 12 gampong yang ada di Pulau Breueh menyampaikan tekad dan usaha-usaha yang sudah mereka lakukan untuk mewujudkan Pulau Breueh sebagai kawasan destinasi wisata.
“Pulau Aceh ini sudah disepakati untuk menjadi kawasan destinasi wisata,” papar Mulyadi.
Menurutnya, tekad mereka itu bukan lagi sekedar mimpi belaka tapi sudah ada buktinya dengan pembentukan Badan Usaha Milik Gampong Bersama oleh 12 gampong dalam dua pemukiman di Pulau Breueh.
“BUMG bersama itu kami sepakati dengan nama Pulau Breueh Maju Beusaree,” kata Mulyadi.
Ombak yang menghempas pantai masih menemani musyawarah malam Camp Punyi seakan menjadi backsound musyawarah yang akan menentukan perjuangan anak-anak muda Pulau Breueh.
BUMG Bersama itu disebut bergerak dalam bidang konservasi dan ekowisata. Dan mereka sudah menghadirkan salah satunya Taman Konservasi dan Ekowisata Pasie Weung.

Di taman itu dilaporkan juga terdapat hutan lindung seluas lebih kurang sekitar 10 hektar dengan biodiversitas yang sangat beragam dan juga tempat pendaratan penyu terbesar yang ada di Pulau Breueh.
Pasie Weung adalah kawasan pantai yang terletak di desa Alue Raya, Kemukiman Pulau Breuh Utara, Kecamaan Pulo Aceh. Letak Pasi Wueng berdekatan dengan perbatasan antara Pulau Breuh Selatan dan Pulau Breuh Utara. Lokasi ini dikelola oleh dua kemukiman, yaitu Pulo Breueh Utara dan Pulo Breueh Selatan.
Di samping terdapat hutan lindung, Pasi Weung menjadi tempat pendaratan penyu terbesar di Kabupaten Aceh Besar, ternasuk penyu hijau.
“Di Bengkaru sendiri terbilang sudah jarang terlihat penyu hijau, tapi di Pasie Weung masih ada,” kata Fauzi.

“Sedang kan di sini, Pasi Lambaro oleh LEPA dijadikan sebagai tempat penangkaran penyu sejak 2012,” tambahnya.
Diakui oleh Mulyadi, sekalipun sudah banyak yang mereka lakukan, tapi mereka menyadari banyak juga keterbatasan, termasuk segi pembiayaan.
Kepala Disbudpar Aceh Almunizal Kamal menyambut antusias semangat warga Pulau Aceh yang sudah bertekad menjadikan Pulau Breueh sebagai kawasan destinasi wisata.
“Kami kemari datang untuk mengekplore potensi wisata yang ada di Pulau Breueh. Dan, apa saja yang dilakukan oleh warga dari 12 gampong yang ada di Pulau Breueh,” kata Almunizal yang hadir menggunakan kain sarung dan kupiah.
Kepala Disbudpar Aceh itu menyambut gembira kesepakatan warga untuk bergerak dibidang kepariwisataan.
“Kalau memang ada niat ke arah itu berarti sudah menjadi tugas saya untuk melihat dukungan apa yang dapat dan paling mungkin kami lakukan, tapi jelas bukan dengan cara bin salabin abrakadabra,” ujar Almunizal.
Malam terus bergerak tanpa terasa dikarenakan spirit warga yang bagai ombak yang tak outus-putus ingin mewujudkan perbaikan daerah melalui kerja-kerja kepariwisataan.
Dan, ketika semangat warga itu bertemu dengan kesediaan Pemerintah Aceh melalui Disbudpar untuk membantu maka bagai menemukan seberkas cahaya, persis seperti malam yang menemukan cahaya dari api unggun yang kembali dinyalakan usai musyawarah camp punyi di Pasie Lambaro, Selasa (14/2) malam. []