Tapak Belanda di Aceh masih ada hingga kini. Salah satunya adalah mercusuar Willem’s Toren III yang berada di Pulau Breueh, Aceh. Mercusuar ini hanya ada tiga di dunia, satu di Belanda, satu di kepulauan Karibia dan yang ketiga ada di Pulau Aceh.

Advertisement

“Rakyat Indonesia yang mencintai negerinya wajib berkunjung ke sini agar dapat merasakan detak nadi sejarah. Dengan begitu memiliki spirit yang kuat untuk membangun negeri,” kata Kadisbudpar Aceh, Selasa (14/2).

Menurutnya, tanpa pembangunan yang berdimensi jangka panjang, negeri akan rapuh, dan ini menjadi awal ancaman baru dalam pertarungan global berikutnya.

Dilihat dari tahun pembangunan mercusuar yaitu tahun 1875 maka Almunizal menyebut itu dilakukan dalam masa Perang Aceh (1873 – 1876) dan ketika Belanda menguasai Dalam yakni Keraton Darut Dunia.

Mercusuar ini selesai dibangun pada 20 Juni 1875 dan dipergunakan mulai 23 Juli 1875 oleh kapal uap kelas dua Zr.Ms. Watergeus, kapal ulir kelas IV Zr.Ms Pontianak dan Zr.Ms. Sifat Nes.

Sebagaimana diketahui, Maklumat Perang Belanda kepada Aceh diumumkan 4 hari usai Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda pada 22 Maret 1873.

Kala itu, dari atas geladak Kapal Perang Citadel vab Antwerpen yang hendak berlabuh di Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Belanda menyampaikan maklumat perangnya, Rabu, 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah.

Padahal Traktak London 1824 melarang Belanda untuk ikut menguasai Aceh. Namun, karena nafsu menguasai makin menjadi-jadi Belanda berhasil membujuk Inggris untuk membuat Traktat Sumatera 1871 yang membolehkan Belanda melakukan perluasan wilayah di Sumatera, termasuk Aceh.

Nafsu Belanda bahkan makin mendidih usai pasukannya yang sempat menguasai Mesjid Raya kembali dipukul mundar oleh pejuang Aceh, bahkan Jenderal Kohler tewas terkena peluru dari sniper Aceh, April 1873.

Belanda kembali menggempur Aceh, dan setelah menguasai keraton Sultan, Belanda memaklumkan telah menguasai Aceh yang dilakukan Jenderal Van Swieten Pada 31 Januari 1874.

Setahun kemudian, Belanda makin bernafsu memperkuat kedudukannya di Aceh termasuk dengan membangun mercusuar Willem’s Toren III yang dimulai November 1875 di Pulau Breueh.

Keberadaan mercusuar ini menjadi bagian dari usaha Belanda menguasai jalur pelayaran di nusantara. Dan dalam rentang waktu 1881 hingga 1895, Belanda mewujudkan pula pelabuhan bebas Sabang guna mendukung aktivitas ekonomi, material pembangunan dan juga logistik perang menghadapi pejuang-pejuang Aceh yang terus melawan meski pusat kerajaan Aceh sudah berpindah-pindah.

“Saat ini keadaan dunia sudah berubah. Peristiwa masa lalu terkait Belanda dapat dijadikan objek wisata kunjungan termasuk oleh warga Belanda lewat kerjasama kebudayaan,” sebut Almunizal Kamal saat mengunjungi dermaga Ujong Pineung, Rabu (15/2).

Saat Belanda sedang membangun mercusuar di Pulau Breueh tahun 1875, di Aceh muncul sosok Teuku Umar asal Meulaboh, yang melakukan gerakan mendekati dan membangun hubungan dengan Belanda. Pada September 1893 Teuku Umar beserta 15 orang panglimanya menyerahkan diri ke Belanda. Ia lalu diberi gelar “Teuku Johan Pahlawan” dan diberi izin memimpin 250 orang pasukan.

Setelah cukup meyakinkan Belanda, dan memperoleh apa yang dibutuhkan, pada 28 Maret 1896 Teuku Umar secara terang-terangan menyatakan keluar dari naungan Belanda dan mulai memihak Aceh lagi.

Teuku Umar berhasil membawa uang sebanyak 18.000, 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi dan 5.000 kg timah.

Singkat kisah, Van Heutsz yang mengetahui keberadaan Teuku Umar, mengutus tentaranya untuk melakukan pengejaran sementara ia menunggu di Meulaboh.

Teuku Umar yang mengetehui keberadaan van Heutsz di Meulaboh segera mengerahkan pasukannya untuk menyerang. Tetapi pergerakan Teuku Umar berhasil diketahui van Heutsz berkat seorang penghianat.

Akhirnya van heutsz menyiapkan sebuah perangkap untuk Teuku Umar dan pasukannya. Setibanya di Meulaboh, Teuku Umar dan pasukannya disambut dengan tembakan-tembakan dari pasukan van Heutsz. Serangan ini membuat Teuku Umar tertembak dan wafat di Meulaboh. Kejadian ini tepatnya terjadi pada 11 Februari 1899.

Mati satu tumbuh seribu perlawanan. Begitulah jika untuk meraih kemajuan dicapai dengan nafsu perang. Belanda yang bernafsu menguasai Aceh, harus ditebus dengan perlawanan tiada putus dari pejuang-pejuang di seluruh Aceh.

Bahkan, ketika Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem menyerah secara pribadi kepada Belanda setelah mengalami tekanan luar biasa, perlawanan masih terus dilakukan oleh rakyat Aceh, dengan berbagai cara yang dimungkinkan.

“Apapun yang sudah terjadi di Aceh pada masanya, sepatutnya menjadi wadah belajar bagi generasi baru Indonesia. Bagi pelajar, siswa serta mahasiswa, sangat perlu belajar sejarah dengan cara mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah,” tutup Kadisbudpar Aceh saat bertolak kembali ke Banda Aceh melalui dermaga Ulee Lheue. []

Previous articleAsyiknya Berwisata ke Surga di Ujung Indonesia, Pulau Aceh
Next articleMusyawarah Camp Punyi

Leave a Reply