Kapal Sultan Bahari milik warga meninggalkan dermaga Ulee Lheue, Selasa (14/2) usai pagi.

Advertisement

Air laut nan biru berombak tenang bagai gerak irama tarian selamat besenang-senang kepada rombongan yang hendak berwisata ke Pulau Breuh.

Hari itu, Dinas Kebudayaan dan Parawisata (Disbudpar) Aceh memfasilitasi rombongan wartawan dari berbagai media di Aceh untuk mengunjungi Pulau Breuh.

“Ini ikhtiar kita untuk terus mempromosikan Aceh kepada pelancong agar terus tertarik untuk berwisata ke Aceh, khususnya ke Pulau Aceh,” kata Almunizal Kamal, Kepala Disbudpar Aceh, Selasa (14/2).

Jelang menepi ke dermaga Gugop setelah menempuh waktu 1 jam lebih, tampak ikan hiu memperliatkan siripnya di atas air. Seakan hendak berkata selamat datang wahai pelancong di surga yang berada di salah satu ujung Indonesia.

Tepian pantai berpasir putih dan daratan yang dipenuhi dengan pepohonan hijau langsung memanjakan mata seakan mempersilahkan pengunjung untuk memetik segenap karunia alam anugerah Tuhan.

Setiba di dermaga Gugop seorang anak kecil duduk berjongkok dan melempar senyum menyambut rombongan yang disertai Kepala Disbudpar Aceh dan juga Danramil Pulau Aceh Lettu Budi serta Kabid Pariwisata pada Disparpora Aceh Besar, Bahagia.

Untuk merapat ke Pulau Aceh bisa menggunakan dermaga Gugop dan dermaga Lampuyang jika hendak mendarat di Pulau Breuh atau merapat ke dermaga Lamteng dan Deudap jika hendak singgah di Pulau Nasi.

Pulau Aceh sendiri terdiri dari 17 gampong, 12 gampong berada di Pulau Breuh dan 5 gampong lagi berada di Pulau Nasi. Totol penduduk di Pulau Aceh kurang lebih 4.500 jiwa. Penduduk di Pulau Aceh umumnya adalah nelayan, petani dan pekebun.

Dengan adanya dukungan Dana Desa, warga.Pulau Breueh khususnya kalangan pemuda juga ikut membuat BUMG dengan menyediakan home stay sebagai pendukung wisata di Pulau Breuh.

Rombongan wisata dari Disbudpar Aceh memilih menyewa home stay milik warga di Pulau Breueh. Kepala Disbudpar Aceh mengatakan sengaja memilih home stay milik warga ketimbang penginapan milik BPKS agar mengetahui secara langsung semangat dan cara warga mengelola fasilitas wisata.

“Biar kita tahu bagaimana warga mengelola wisata daerah mereka sehinhga kita tahu apa yang dapat kita bantu dan beri dukungan kepada warga di sini,” kata Almunizal Kamal setiba di homestay yang memang terlihat bersih dan nyaman.

Rombongan pun tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Usai makan siang, dua rombongan menuju lokasi mercusuar Willem’s Toren III peninggalan Belanda yang dibangun dua tahun usai maklumat Perang Belanda, 1875 yang terletak di gampong Meulingge.

Kendaraan melewati jalan lintas Gugup – Ujung Balee dan Rinon – Meulinge yang dibangun oleh BPKS. Para penumpang tampak gembira dan mengagumi pemandangan yang disuguhkan oleh alam.

Sayangnya, dibeberapa titik terlihat kiri dan kadan badan jalan tertupi semak, dan tidak jauh dari lokasi mercusuar ada badan jalan yang amblas. Begitu juga ketika hendak menuju ke lokasi pantai berpasir putih yang kerap dikunjungi penyu langka, juga tampak tidak terurus akses jalannya.

Mercusuar Belanda
Ketika memasuki lokasi mercusuar Willem’s Toren III peninggalan Belanda yang masih berfungsi sebagai pemandu kapal yang melintasi Selat Malaka pikiran langsung melalangbuana ke zaman 1875.

Pembangunan yang dilakukan oleh pekerja yang dibawa dari Ambon dan tenaga lokal itu tentu sangat tidak mudah mengingat belum adanya akses jalan. Keesokan harinya terungkap bahwa segenap material yang dibutuhkan untuk membangun dipasok dari laut dengan menggunakan kapal.

Mercusuar ini selesai dibangun pada 20 Juni 1875 dan dipergunakan mulai 23 Juli 1875 oleh kapal uap kelas dua Zr.Ms. Watergeus, kapal ulir kelas IV Zr.Ms Pontianak dan Zr.Ms. Sifat Nes

“Itu dia jejak dermaganya (Dermaga Ujung Pieneueng) dan tidak jauh dari dermaga juga ada sumur besar yang masih ada airnya yang jernih,” kata salah seorang yang ikut menyelam untuk melihat jangkar besar milik sebuah kapal yang belum diketahui.

Sayangnya kegiatan selam terpaksa dibatalkan karena cuaca pada hari Rabu (15/2) sedang tidak cerah. Di atas langit terlihat awan hitam mulai membentuk dan hujan gerimis mulai berjatuhan. Kapal Sultan Bahari yang sudah beropersi selama 16 tahun terpaksa harus kembali ke dermaga melewati ombak yang bergolak dengan kencang.

Menurut kabar, mercusuar dengan ketinggian 6 tingkat yang harus menaiki 168 anak tangga itu sebagai upaya VOC Belanda menjadikan Sabang sebagaimana Singapore saat ini guna memperkuat monopoli dagang.

Bagi Belanda, dan siapapun pasti tahu bahwa Selat Malaka menjadi kunci mengguasai jalur internasional karena Selat Malaka menghubungkan Samudra Hindia (melalui Laut Andaman) ke Laut Cina Selatan dan Samudra Pasifik.

Menariknya, banggunan yang sudah berusia 148 tahun itu masih kokoh dan bisa difungsikan padahal sudah melewati periode gempa paling kuat di Aceh pada 2004 lalu. Memang ada beberapa banggunan lainnya yang sudah rusak. Namun, banggunan vital dan sangat berguna bagi memandu kapal di Selat Malaka itu masih kokoh berdiri bersama alam Pulau Aceh yang indah.

Usai dari lokasi mercusuar, rombongan menuju beberapa titik pantai yang memanjakan mata. Tarian gelombang seakan merayu untuk segera mandi laut lalu merebahkan diri di pasir yang bersih. Atau, sekedar melempar pancing untuk menangkap ikan.

Spot Wisata Pulau Breueh
Saat berada di Pantai Balu, Fauzi, pegiat wisata Pulau Breuh mengatakan selain berwisata di mercusuar banyak objek lainnya yang bisa dijadikan spot wisata seperti pantai Balu sebagai tempat singgahan penyu sekiar Agustus hingga Desember.

“Juga ada pantai Lambaro untuk menikmati sunset dan aktivitas menangkap ikan noh saat malam dengan menggunakan senter. Juga ada Pasi Weung sebagai lokasi taman ekowisata yang sudah direncanakan sebagai lokasi penangkaran penyu hijau oleh BUMG bersama dan juga Pantai Meulingge untuk menikmati pasir putih, karang dan juga aktivitas snorkeling serta pantai Ujueng Peuneung yang merupakan pelabuhan Belanda,” tambah Fauzi.

Fauzi mengatakan untuk berwisata di Pulau Breuh bisa di waktu musim timur khususnya di bulan Februari hingga Juni atau saat musim barat pada bukan Agustus hingga Desember.

Untuk memajukan pariwisata di Pulau Breuh warga setempat juga sudah dibekali dengan Qanun Gampong, salah satunya melarang pengambilan telur penyu yang ada di Pasie Weung, dan juga pelarangan sapi berkeliaran di badan jalan.

Semangat warga untuk membangun wisata di daerah mereka terlihat jelas saat warga melakukan pertemuan dengan Kadisbudpar Aceh di Camp Penyu. Sejumlah anak muda yang ikut ditemani Geuchik mereka memaparkan rencana dan aksi yang sudah dilakukan, termasuk dukungan yang masih mereka butuhkan dari Pemerintah.

Kepala Disbudpar Aceh menyatakan kesiapannya untuk ikut mendukung pemajuan wisata di Palau Breueh. Dan juga kesiapan untuk menyampaikan sejumlah hal yang perlu ditanggani ke berbagai pihak terkait.

“Semangat kalian untuk membangun wisata menjadi pemicu bagi saya untuk juga ikut mendukung. Seiring waktu dan proses kami akan mencoba membantu apa yang paling mungkin dan bisa untuk dibantu seperti pelatihan dan lainnya, tapi kuncinya kalian sendiri yang harus giat dan gigih,” kata Almunizal.

Keesokan harinya, usai mengunjungi lokasi dermaga Ujueng Peuneung, dermaga akses Belanda menuju lokasi mercusuar pada zaman dulu serta lokasi menyelam yang pernah terlihat jangkar besar oleh penyelam, rombongan wartawan yang difasilitasi oleh Disbudpar Aceh bertolak kembali ke Banda Aceh, juga dengan menggunakan kapal Sultan Bahari milik warga.

“Kapal ini pada saat tsunami dulu berada di Ujung Pancu. Usai tsunami diperbaiki kembali, dengan begitu usianya melayani penumpang sudah 16 tahun,” kata Abi yang menjadi nakhoda saat menuju lokasi dermaga milik Belanda dan juga lokasi penyelaman, Rabu (15/2) sebelum betolak kembali ke Dermaga Ulee Lheue, Banda Aceh. []

Previous articleKejujuran
Next articleMercusuar Willem’s Toren III dan Kerasnya Perang Aceh

Leave a Reply