Salah satu praktik baik yang masih terus berlangsung hingga saat ini di lingkungan Pemerintah Aceh adalah pelaksanaan Doa dan Zikir.

Advertisement

Awalnya, Doa dan Zikir bersama yang dilakukan saban pagi, dilakukan sebagai ikhtiar mengetuk pintu langit untuk menghalau bala Covid-19.

Sebagai daerah Islam yang bersandarkan kepada I’tiqad Ahlussunnah waljamaah doa dan zikir bersama sangat lumrah, bahkan menjadi pilihan.

Mengutip pandangan Imam al-Alamah Ibnu Abidin dalam kitabnya “hasyiah fi ma’rodi dzikrillah” berkata, dzikir berjamaah itu lebih besar pengaruhnya di hati daripada dzikir sendirian.”

Begitu pula dengan Imam Abdul Wahab Sya’roni dalam kitabnya “dzikru adz-dzakir…” mengatakan, bahwa ulama’ salaf maupun ulama’ khalaf telah sepakat atas disunnahkannya dzikir berjama’ah baik di masjid maupun di luarnya.

Memang ada yang memilih untuk berzikir secara sendiri dan secara senyap, tapi cara doa dan zikir bersama sudah menjadi pilihan dan jalan bagi umat Islam di Aceh khususnya yang ber-I’tiqad Ahlussunnah waljamaah.

Apakah doa dan zikir bersama ada relevansinya dengan berakhirnya Covid-19 di Indonesia? Tentu saja memohon doa kepada Allah SWT yang disertai zikir ada perannya bagi berakhirnya Covid-19 di Indonesia.

Awalnya, trend kenaikan Covid-19 diberbagai provinsi nyaris tidak ada yang memperkirakan akan terjadi dengan cepat. Berbagai pejabat dalam perbincangan informal bahkan sempat menyampaikan keheranannya.

Penurunan kasus Covid-19 di Indonesia yang begitu cepat juga sempat membuat Pemimpin Partai Aksi Demokratik (DAP) Malaysia Lim Kit Siang heran.

Semua itu bisa terjadi, salah satunya karena segenap ikhtiar yang didasarkan pada sains juga disertai dengan ikhtiar yang disandarkan kepada agama. Doa dan zikir dengan begitu ikut berkontribusi bagi berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia.

Apakah doa dan zikir harus berakhir bila Covid-19 sudah Allah SWT izinkan berlalu dari kehidupan kita? Tentu saja tidak. Doa dan zikir masih sangat penting untuk diteruskan misalnya zikir muraqabah untuk menolak bala maksiat yang menjadi penyebab gagalnya kerja-kerja pembangunan, seperti kurupsi.

Sebagai daerah Islam, ureung Aceh tentu akrab dengan zikir muraqabahnya Sahal bin Abdullah At-Tusturi, Wali yang sudah menempuh jalan sufi sejak kecil.

Kepada Sahal kecil pamannya mengajarkan zikir yang dapat menolak maksiat dengan cara berzikir: “Allahu Ma’i (Allah Bersamaku), Allahu Nazhirun ilayya (Allah Melihatku), Allah Syahidi (Allah Menyaksikanku ).”

Dilain waktu, Sang Paman berkata pada Sahal: “Wahai Sahal siapa yang merasa Allah bersamanya, melihatnya dan menyaksikannya, apakah mungkin dia bermaksiat ?”

Sekiranya Aceh didukung oleh pejabat dan ASN serta wakil rakyat yang sadar betul bahwa dirinya senantiasa dimonitor oleh Allah SWT maka niscaya segala bala maksiat dalam kerja-kerja pembangunan di Aceh akan tertolak. Manfaatnya jelas kemajuan dan kesejahteraan.

Mengutip ulasan oleh Sufi Muda, menarik mengutip Saidi Syekh Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur Al-Khalidi berikut: “Barang siapa yang tidak menjaga amalan zikirnya maka lambat laun akan hilang semua karunia Allah walau dia ahli Kasyaf (orang yang telah terbuka hijab) sekalipun.” []

Previous articleAceh (Bukan) Daerah Berkebutuhan Khusus
Next articleKawan dan Lawan, Belajar Politik pada Anwar dan Mahathir

Leave a Reply