Aceh adalah daerah yang oleh negara diakui sebagai daerah khusus atau istimewa. Memang, tidak hanya Aceh. Daerah khusus lainnya ada Papua, Papua Barat dan DKI Jakarta, serta Yogyakarta dengan status istimewanya.

Advertisement

Sayangnya, mindset tentang khusus atau istimewa itu, mencermati laku politik keacehan akhir-akhir ini, kesannya seperti labeling anak berkebutuhan khusus atau anak istimewa yang diberikan kepada anak-anak yang “berbeda” dengan anak-anak lainnya.

Sangat tidak elok jika makna khusus atau istimewa itu mengarah ke labeling. Pasalnya, pada label khusus atau istimewa, mengikut pada kasus anak-anak, terkandung masalah keterbelakangan dan keterbatasan.

Dengan alasan diagnosis itulah muncul sikap protektif, kehendak untuk senantiasa dibantu, plus hasrat untuk diperlakukan secara tersendiri. Dampaknya, hilanglah kebebasan, dan matilah kreatifitas yang menjadi kunci hidup dan kunci meraih kemajuan.

Apakah status daerah khusus atau istimewa pada Aceh bermaksud untuk dianakemaskan seperti labeling anak berkebutuhan khusus? Tentu saja tidak demikian.

Status daerah khusus atau istimewa sesungguhnya pengakuan negara atas spirit dan etik keacehan yang di dalam undang-undang dirumuskan dalam kalimat “satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.”

Jadi, negara percaya bahwa Aceh mampu berpikir dan berkerja lebih (daya juang) untuk meraih kembali kegemilangannya dalam bingkai NKRI.

Sayangnya, spirit dan etik keacehan itu baru sebatas menghadirkan “trias politika keAcehan” sehingga Aceh memperoleh julukan baru berupa Negeri Tiga Wali.

Artinya, di Aceh ada Wali Allah (ulama) yang bertugas menjaga ruh keislaman, ada Wali Amri (eksekutif – legislatif) yang menjalankan pembangunan, dan ada Wali Nanggroe yang memangku tugas-tugas menjaga dan merawat Aceh interest.

Negara juga memberi kesempatan kepada Aceh untuk memiliki model demokrasi keacehan, yang melibatkan partisipasi partai lokal sehingga dimungkinkan rakyat Aceh untuk bersuara, menyampaikan pikirannya, dan ikut memperjuangkan keadilan guna mengakhiri kekerasan dan mewujudkan perdamaian yang abadi.

Hanya saja muncul pertanyaan, mengapa spirit dan etik keacehan itu belum juga memutus mata rantai ketidakadilan sehingga masih menghalangi Aceh untuk maju dan sejahtera, padahal segenap dukungan termasuk anggaran yang lebih besar dibanding daerah lain sudah diberikan?

Kembali ke ulasan di atas, jangan-jangan status daerah khusus atau istimewa yang semestinya wujud pengakuan negara terhadap segala kelebihan Aceh justru dipahami dan diperlakukan oleh tokoh-tokohi Aceh sebatas labeling sehingga solusi segala sesuatu bagi Aceh lebih banyak disandarkan pada alasan khusus atau istimewa, bukan pada argumen istimewa yang membuat banyak pihak mengakui dan memberi sokongannya.

Terkini, alasan khusus atau istimewa juga muncul dalam dialektika BBM bersubsidi. Disebut, Aceh mesti diberi tambahan kuota BBM bersubsidi karena Aceh daerah khusus.

Padahal, belum tentu solusi antrean dan kelangkaan BBM bersubsi karena alasan terbatasnya kuota, bisa jadi karena alasan adanya praktek mafia BBM bersubdi yang melibatkan jaringan pemain minyak dengan pengusaha, atau bisa jadi pula karena ada pengusaha yang menjadi penguasa.

Kembali lagi, ketika Aceh dimengerti sebagai daerah dengan segenap keterbelakangan dan keterbatasannya, yang berbeda dengan daerah normal lainnya, maka sudah pasti solusinya adalah segenap tindakan khusus dan perlakuan istimewa.

Sebaliknya, jika status khusus atau istimewa itu dimengerti sebagai pengakuan negara terhadap kelebihan ketahanan dan daya juang ureueng Aceh maka otomatis Aceh akan menjadi daerah yang senantiasa hadir dengan segenap kecemerlangan baik di daya berpikirnya maupun di daya berbuatnya.

Hebatnya daya berpikir dan daya berbuat ureung Aceh jelas masih ada jejak historisnya. Aceh pernah keren dalam mengelola negeri pada masanya sehingga pernah menjadikan Aceh sebagai negeri yang maju dan kuat di mata donja.

Bahkan, secara laku ekonomi ureung Aceh melalui praktek ekonomi syariah berupa waqaf harta, ureueng Aceh masa kini masih bisa menikmati manfaatnya, seperti waqaf Habib Buqak.

Itu bukti spirit dan etik keacehan generasi tempo doeloe. Bagaimana dengan generasi Aceh sekarang ini?

Sampai saat ini yang masih menonjol terlihat adalah daya pakenya ketimbang daya pikenya. Alhasil, perspektif Aceh Hebat seperti JKA dan Format Pantau yang dihasilkan paska tsunami dan rehab rekon, yang oleh daerah lain ditiru dan dimodifikasi, justru tumbang alias tak berdaya guna di negeri sendiri akibat relasi kekuasaan yang terlepas dari Aceh interest.

Akibatnya, pohon kerja pembangunan paska konflik, belum juga menghadirkan buah kemajuan dan kesejahteraan yang dinikmati oleh segenap rakyat.

Dana Otsus Aceh, secara kasat mata, dari waktu ke waktu baru sebatas pupuk rebutan bagi mereka yang mengatasnamakan rakyat hasil pemilihan raya di Aceh.

Ujungnya adalah terjadinya lingkaran kasus dan masalah yang ketika tidak terselesaikan justru menjadi kesempatan bagi berbagai pihak untuk ikut mengambil manfaat secara materi pula dari ragam kasus dan masalah yang ada, dan terus ada.

Silahkan selidiki, siapa yang hidupnya paling berubah secara ekonomi paska tsunami di Aceh. Rakyat kebanyakankah? Atau mereka yang bertransformasi menjadi pemimpin dan wakil rakyat dan yang memiliki akses ke dana-dana hasil ie mata rakyat?

Gampang, bandingkan saja kehidupan sebelum dan sesudah mereka bermain dengan uang pembangunan. Jika berubah drastis dan mencengangkan maka terjawab sudah mengapa Aceh tidak maju, dan rakyat belum juga sejahtera.

Tidak perlu memgajukan pertanyaan mengapa kepada mereka sebab jawabannya pasti akan diarahkan kepada pihak lain, dan bisa jadi jawaban klasik akan muncul lagi, Aceh ka ditipu oleh Jakarta.

Untuk itu, pikiran-pikiran istimewa sangat mendesak untuk dihadirkan, khususnya dalam mengantiisipasi periode penurunan Dana Otsus, dan itu bisa diformulasikan sejak dini, salah satunya dengan membangun skenario Ekonomi Baru Badan Usaha Milik Aceh agar mandiri dan pada waktunya menyumbang PAA. []

Previous articleKepala Negara Akui Tiga Pelanggaran HAM di Aceh, Apa Saja?
Next articleDari Zikir Tulak Covid-19 ke Zikir Tulak Maksiat Kerja Pembangunan

Leave a Reply