Tidak terasa, usia Pemerintah Aceh sudah berlangsung 15 tahun, sejak 2007. Dalam rentang waktu itu, Pemerintah Aceh, secara estafet telah dipimpin oleh Irwandi – Nazar, lalu dilanjutkan Zaini – Mualem dan kemudian diteruskan Irwandi – Nova.
Saat ini, seraya menunggu Pilkada 2024, Aceh akan dipimpin Penjabat Gubernur yang ditetapkan oleh Presiden RI. Beliau adalah Achmad Marzuki yang akan dilantik Rabu (6/7) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh.
Sambil-sambil menanti pelantikan Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh dan sambil menanti Pilkada 2024, mari kita simak sekilas rekam jejak perjalanan kerja 15 tahun Kepala Pemerintah Aceh secara sederhana.
Satu hal yang tidak terbantah adalah semua Gubernur Aceh pernah diminta mundur baik itu oleh kalangan sipil maupun oleh anggota dewan lewat interpelasi. Ini bukti kerasnya takdir politik Kepala Pemerintah Aceh.
Irwandi pernah dituntut mundur karena tidak menyetujui Qanun Pilkada yang sudah yang sudah disetujui oleh DPR Aceh pada 27 Juni 2011. Sebelumnya, juga pernah dituntut mundur oleh mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI karena dinilai gagal menerapkan syariat di Aceh melalui pelaksanaan Qanun Jinayah. BEM Unsyiah juga pernah menuntut mundur karena dinilai gagal membawa perubahan bagi Aceh.
Tidak hanya Irwandi, Zaini Abdullah juga pernah dituntut mundur. Agustus 2014, sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergabung dalam Lembaga Barisan Penyelamat Pemerintah Aceh (BPPA) menilai Zaini Abdullah tak mampu merealisasikan 21 janji politik saat kampanye.
Irwandi Yusuf pada kepemimpinan keduanya juga mengalami interpelasi yang nyaris berujung pemakzulan. 42 orang dari 81 anggota DPR Aceh setuju menggunakan hak interpelasi kepada Irwandi Yusuf pada Mei 2018. Dalam rapat paripurna Senin (2/7/2018) DPR Aceh menolak seluruh jawaban interpelasi yang disampaikan Irwandi lewat Nova. Pihak legislatif juga berencana bakal menggunakan hak lebih lanjut terhadap Irwandi.
Namun, sehari berselang, Irwandi ditangkap KPK terkait kasus pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2018 pada Pemerintah Provinsi Aceh. Setelah Irwandi ditangkap, Nova menjabat Plt Gubernur Aceh. Dua tahun berselang, giliran Nova mendapat interpelasi dari DPR Aceh periode 2019-2024. Interpelasi untuk Nova diteken oleh 55 anggota dari enam fraksi di DPR Aceh. Upaya pemakzulan gagal dan Nova menjadi gubernur difinitif.
Begitulah kerasnya takdir politik Kepala Pemerintah Aceh. Meski begitu, ada yang menggembirakan. Jika sebelumnya dinamika politik masih diwarnai dengan aksi kekerasan maka selama masa Nova Iriansyah, dinamika politik sudah tidak diikuti dengan kekerasan fisik apalagi yang sampai menghilangkan nyawa.
Dengan begitu, harapan yang pernah dicetuskan oleh Perdana Menteri GAM 17 tahun lalu diacara penandatangan MoU Helsinki baru terwujud di masa Nova, yaitu demokrasi sejati. Demokrasi sejati yang dimaksudkan oleh Malik Mahmud kala itu adalah demokrasi yang tidak menghambat, justru menggalakkan politik. Demokrasi yang tidak membatasi ruang pemikiran, justru menggalakkan berkembangnya berbagai pemikiran.
Dan, Malik Mahmud mengunci maka demokrasi sejati itu dengan ucapan yang mengandung alat ukur, agar kita dapat mengujinya. “Demokrasi yang sejati itu tidak berlutut dihadapan kekerasan, ia adalah alat untuk mengakhiri kekerasan,” ucap Malik Mahmud. Dan itu, wujud di masa Nova. Tidak ada yang diterpa rasa takut untuk menyampaikan pendapatnya, bahkan makiannya. Baik oleh anggota DPR Aceh yang memiliki imunitas, maupun oleh kalangan jurnalis, hingga aktivis rakyat jelata. Inilah legacy penting yang terbangun di masa Nova Iriansyah, terwujudnya demokrasi sejati.
Sekarang, mari kita tilik kerja estafet kepemimpinan di Aceh dan karya apa yang sudah dihasilkan yang dapat menjadi modal bagi kepemimpinan berikutnya.
Pada rentang waktu 2007-2011, angka kemiskinan Aceh memang turun tanpa terjadi kenaikan. Dari 26,65 persen (2007) menjadi 19,57 persen (2011). Periode ini terbilang cukup beruntung karena sampai 2009 masih ditemani BRR dan berbagai NGO Meski turun, angka kemiskinan Aceh masih di atas rata-rata Sumatera Utara dan nasional. Jadi, posisi kemiskinan Aceh belum bisa melewati provinsi lain di Sumatera.
Pada periode ini juga dibangun KIA Ladong, tahun 2009, namun dari jejak anggaran hanya sampai pada pembangunan jalan aspal 732 m dan pengkerasan 1.566 m.
Pada rentang waktu 2013 – 2016, angka kemiskinan juga turun dari 19,46 persen (2012) menjadi 16,43 persen (2016). Sayangnya, pada 2014 sempat terjadi lonjakan ke angka 18,05 persen padahal tidak ada kejadian parah yang menimpa Aceh. Saat itu hanya ada momen Pemilu 2014. Dan, Aceh lagi-lagi belum berhasil menyalip provinsi lain di Sumatera.
Meski begitu, pada periode Zaini – Muzakir hadir PP 23/2015 tentang Pengelolaan Bersama SDA Migas di Aceh yang diteken Jokowi pada 5 Mei 2015. Lalu dilanjutkan dengan hadirnya BPMA tahun 2016. Sayangnya, pada periode ini gagal mereformasi PDPA yang sudah ada sejak 1994. Langkah-langkah pembenahan yang dilakukan pada 2013, 2015, dan 2017 belum membuat PDPA menjadi labih baik.
Upaya membenahi warisan KIA Ladong yang ditinggalkan periode sebelumnya juga tidak berhasil. Sehingga jejak anggaran terpakai dari 2009 sampai 2017 sebesar Rp66,2 miliar.
Rakyat Aceh kembali menaruh kepercayaan kepada Irwandi Yusuf, yang kali ini (2017 – 2022) ditemani Nova Iriansyah. Pada Meret 2017, angka kemiskinan naik menjadi 16,89 persen dan turun menjadi 15,92 persen pada September.
Pada Maret 2018 kembali naik ke angka 15,97 persen. Peristiwa OTT pada 3 Juli 2018 membuat langkah Irwandi Yusuf terhenti dan kemudian diteruskan oleh Nova Iriansyah. September 2018, angka kemiskinan turun menjadi 15,68 persen.
Penurunan angka kemiskinan terus konsisten di tahun 2019 hingga Maret 2020. Angka kemiskinan Aceh sudah di 14,99 persen. Dengan angka ini, akhirnya Aceh untuk pertama kalinya sukses menyalip bengkulu. Sayangnya, Aceh diterpa pandemi Covid-19 dan Nova ditimpa politik interpelasi di DPR Aceh.
September 2020 Aceh kembali disalip Bengkulu dan sampai September 2021 angka kemiskinan naik menjadi 15,53 persen. Pemerintah Aceh lebih fokus menghadapi pandemi Covid-19 dan pada saat yang sama harus “menenangkan” badai politik di DPR Aceh.
Meski begitu, di masa Nova, “PR” yang ditinggalkan para pemimpin terdahulu berusaha diselesaikan. Ada yang tercapai, ada juga yang masih belum tercapai, dan ada juga yang masih dalam pengerjaan.
Salah satu kerja Zaini – Mualem sukses dilanjutkan oleh Nova, yaitu dengan wujudnya kedaulatan Aceh dalam pengelolaan energi yaitu Blok B.
Begitu juga dengan reformasi PDPA yang masih gagal dilakukan Zaini Abdullah, sukses direformasi oleh Nova menjadi PT PEMA yang kini telah menyerahkan dividen Rp21,6 miliar kepada Pemerintah Aceh. PDPA dibentuk pada masa Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud, tahun 1994.
Sayangnya, usaha Nova menghidupkan kembali warisan periode 2007-2012, yaitu KIA Ladong, masih belum membuahkan hasil lewat kehadiran kegiatan ekonomi di kawasan industri itu. Akibatnya, anggaran yang sudah habis dari 2009 – 2018 sebesar Rp112 miliar belum menghasilkan aktivitas ekonomi di kawasan industri itu.
Di masa Nova, 4 pulau yang gara-gara salah koordinat di tahun 2009, dan akhirnya masuk dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumut, diperjuangkan agar kembali menjadi milik Aceh. Pihak Kemendagripun turun ke lapangan untuk mengumpulkan bukti dan besar kemungkinan akan kembali menjadi milik Aceh berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh.
Nova juga telah mewujudkan cita-cita pemimpin Aceh terdahulu, Ibrahim Hasan, Syamsuddin Mahmud, dan Abdullah Puteh yang tertunda melalui kegiatan pembangunan 14 ruas jalan dan menghadirkan kapal Aceh Hebat. Dari 14 ruas jalan, 2 diantaranya sudah diresmikan.
Sebagaimana diketahui, Ibrahim Hasan, pernah mencetuskan “Jalan Terobosan”. Syamsuddin Mahmud memberi nama “Jaring Laba-laba.” Dan Abdullah Puteh menyebut dengan nama: “Ladia Galaska.”
Nova juga meninggalkan warisan baik pada birokrasi Pemerintah Aceh. Melalui Gerekan BEREH, semua kantor sudah tertata dan menjadi lebih bersih. Kantor Gubernur Aceh juga ditata dengan lebih apik sehingga ASN diharapkan dapat lebih gesit dalam berkerja.
Nova juga meninggalkan tradisi yang baik lewat gerakan penyerahan SK Pangkat dan Pensiun tepat waktu. Dan, dilingkungan ASN juga dihidupkan gerakan Donor Darah ASN yang sangat berguna bagi siapapun yang membutuhkannya, khususnya bagi penyintas thalasemia.
Dengan begitu, siapapun yang akan melanjutkan estafet Kepala Pemerintah Aceh dapat kembali fokus mengatasi kemiskinan Aceh. Selamat datang Pak Achmad Marzuki dan terimakasih Pak Nova Iriansyah. []