AJAKAN untuk tidak melampaui batas sudah ada sejak lama, setidaknya dipertegas kembali sejak 610 masehi. Jadi, bukan hal baru. Tapi, karena manusia insan yang merugi, tindakan melampaui batas, masih saja terjadi, berulang lagi, dan lagi.
Karena berulang, maka kunci menghadapi tingkah melampaui batas tidak lain adalah saling menasehati, baik dalam misi kebaikan maupun dalam misi kesabaran.
Terkini, lihatlah orang yang sudah minta maaf, masih saja kita dorong untuk menjalani proses hukum, hingga di penjara. Bahkan, harus pula dipecat. Lebih jauh lagi, tempat bernaungnya pun harus dilemahkan.
Keberanian rakyat disulut dan setiap ungkapan protes dipuji sebagai wujud keberanian yang heroik.
Itulah yang kita saksikan pada kasus yang menimpa Arteria Dahlan yang bergabung di PDI-P. Sedikit sekali yang sudah cukup dengan permintaan maaf. Selebihnya, seperti sosok-sosok suci yang tidak sedikitpun pernah atau akan berbuat cela.
Di lain sisi dan waktu. Edy Mulyadi pun mengalaminya. Permintaan maaf mantan Caleg PKS itu juga tidak menghentikan orang-orang yang tidak bisa menerima ucapannya tentang “tempat jin buang anak.”
Dan, mereka yang marah juga ingin Edy Mulyadi diproses hukum, bahkan diharapkan hingga dipenjara. Beragam dalilpun dikemukakan, minimal dalil semua orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
Ada pula yang melebarkan dengan mengatakan gara-gara setitik Edy rusak PKS sebelanga. Bahkan ada yang memanfaatkan analisa lama bahwa jika sudah minta maaf tandanya mengakui adanya kesalahan.
Tidak cukup dengan itu, ikat kepala Edy Mulyadipun dipermasalahkan karena dipandang sudah dipakai untuk kegiatan yang menjatuhkan martabat daerah lain. Tidak hanya cukup dengan narasi di media sosial, bait-bait lagu pun dinyanyikan sebagai ungkapan kemarahan.
Dan mereka yang tidak menerima Edy Mulyadi diproses hukum, pun melebarkan pembelaan yang dapat dipahami pihak lain sebagai serangan balik. Istilah yang disampaikan Edy dikontraskan dengan penilaian bahwa pihak yang menyerang tidak berani melawan pihak-pihak yang telah merusak wilayah mereka.
Mereka justru berani memperlihatkan senjata tradisi kepada Edy Mulyani, tapi diam dan hilang berani menghadapi pengrusak alam dan lingkungan mereka sendiri.
Makin marah. Pihak yang menyerang Edy Mulyadi pun dibayangkan sebagai pihak yang lemah, yang tidak menyadari negeri mereka terancam dengan keberadaan IKN baru. Dugaan dikembangkan, itu semua karena ada mesin-mesin penggerak yang berkerja untuk kepentingan penguasa dan oligarki.
Makin marah lagi, makin melebar terus, makin berlebihan dan makin melampaui batas. Semua pihak pun, mulai lagi menggelar pameran kekuatan.
Melalui media sosial terulang lagi perang tagar. Melalui jalur hukum berlangsung kembali pertandingan pelaporan, dulu bahkan ada tanding jumlah yang diciduk lalu di ekspos ke media dan ada pula yang insaf dan disuruh tanda tangan bermaterai.
Siapa yang menang? Ibarat api, dua-duanya terus menyala membakar hati, seiring disesaki kayu bakar, dan hasilnya adalah semua pihak malah menjadi abu, yang ketika terbang ke udara, terhirup hidung, nan justru makin menyesakkan dada, karena melihat nasib bersama di cermin negeri sendiri.
Itu semua terjadi karena tidak ada yang mau menyudahinya ditingkat maaf. Maaf, meski lebih dimuliakan dan lebih mengharukan, dijamin pahala oleh Rabb, dipraktekkan oleh Nabi, ternyata tidak menjadi pilihan favorit. Pilihan yang dipilih justru tindakan berlebihan dibalas dengan aksi berlebihan yang serupa.
Dicela dibalas cela, diejek dibalas ejek, disebut dengan gelar buruk dan merendahkan, dibalas tindakan yang serupa. Sadar, tapi tidak bersedia membangun pertaubatan, dan akhirnya terbangunnya suasana kezaliman.
Dan ditengah ruang hidup dengan warna warni kezaliman itu kita sesekali kembali saling meratapi keadaan negeri, sayangnya kembali pula mencari pihak yang disalahkan, bahkan yang harus dikorbankan. Muncullah lagi ragam strategi dan taktik untuk bertahan dan memenangkan ruang kekuasaan, minimal pengaruh.
Pihak yang berkuasa merasa perlu membangun pertahanan, pihak yang ingin menumbangkan merasa penting untuk terus menebar tanpa henti perlawanan. Akhirnya, mereka yang memahami dan pandai memanfaatkan emosi, makin rajin memainkan peranannya, sambil memetik manfaat demi manfaat.
Ada yang meraih keuntungan materi, ada yang mendapat keuntungan pengaruh, ada pula yang sekedar memperoleh follower, minimal mendapat like and share lebih banyak dari sebelumnya. Lantas, bagaimana dengan nasib negeri? Lingakaran setan kembali berputar. Jika lemah jadi bahan untuk serangan baru. Jika kuat jadi bahan pertahanan baru. Itu saja!
Masih adakah ruang renungan?! Hanya waktu yang bisa menjawabnya!