Entah siapa yang datang besok, Jumat (25/9) ke DPR Aceh untuk menghadiri “pesta” interpelasi, yang jelas usulan 58 dari 81 anggota DPRA dari enam fraksi untuk menggelar interpelasi sudah disetujui, Kamis malam (10/9) lalu.
Sengaja kita sebut “pesta” karena ingin menyentakkan kesadaran rakyat pemilih pasangan Aceh Hebat pada Pilkada 2017 bahwa ini bukan interpelasi pertama yang ditujukan untuk pasangan Aceh Hebat.
Dua tahun lalu, setelah usulan 42 dari 81 anggota DPR Aceh disetujui dalam Paripurna Khusus (9/5), di gelar Paripurna Istimewa untuk mendengar jawaban Gubernur Aceh (4/6).
Jawaban Gubernur Aceh kemudian dibacakan oleh Nova Iriansyah pada Paripurna Istimewa, 28 Juni 2018 dan 2 Juli 2018, yang berakhir ditolak oleh DPR Aceh dan mewacanakan penggunaan hak angket, yang terhenti karena Gubernur Aceh terkena OTT KPK.
Dengan begitu, kita ingin mengingatkan rakyat bahwa ada tanda-tanda terang bahwa legislatif Aceh tidak lagi menjadi mitra eksekutif untuk tujuan mewujudkan Aceh Hebat.
Publik yang jeli bisa saja akan membaca agenda memutilasi habis kepemimpinan Aceh Hebat lewat Roadmap Politik Penggulingan melalui rute interpelasi, angket dan hak menyatakan pendapat.
Sinyal itu, merujuk ke berita salah satu media online, dinyatakan terus terang oleh salah seorang inisiator interpelasi dari Koalisi Aceh Bermartabat (KAB): “….bila perlu kita gulingkan Plt Gubernur itu di ruang ini.”
Mari kita tilik sejenak peta kekuatan di legislatif Aceh lewat Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Pada interpelasi pertama posisi Kepemimpinan Aceh Hebat (KAH) sudah terbilang lemah. Hanya dua fraksi yang tidak mendukung interpelasi yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi Golkar, termasuk tiga orang anggota PNA yang bergabung dalam Fraksi Nasdem.
Kelemahan itu ditambah dengan ketidakhadiran anggota dewan dari PNA pada sidang Paripurna Istimewa sehingga Gubernur Aceh dideskripsikan oleh salah satu media, “babak belur” oleh pertanyaan anggota dewan.
Pada interpelasi kedua ini, posisi KAH semakin lemah, karena PNA sudah menjadi bagian dari KAB sehingga ikut menjadi inisiator, ikut membubuhkan tanda tangan, bahkan ikut memasukkan pertanyaan yang mengulang nuansa privasi pada interpelasi dua tahun lalu.
Jika dengan kekuatan KAB yang menguasai 46 kursi dari 81 kursi di DPR Aceh saja posisi KAH sudah berpotensi babak belur, apalagi jika ditambah dengan kekuatan pendukung interpelasi kedua yang juga diikuti Golkar dan Nasdem. Keduanya masing-masing memiliki 9 kursi dan 2 kursi di DPR Aceh.
Dengan Roadmap Politik DPR Aceh itu publik tentu saja terbuka untuk membaca bahwa “Aceh Hebat is Dead” akan terjadi persis dihari Jumat esok, khususnya jika peristiwa interpelasi pertama berulang, yaitu menolak jawaban, dan melanjutkan ke Hak Angket.
Apalagi sebelumnya DPR Aceh sudah lebih dini memberi sinyal seolah-olah sudah melakukan hak penyidikan (angket) dengan melapor ke KPK, Jumat (18/9). Apa yang dilaporkan ke KPK juga menjadi salah satu pertanyaan interpelasi, yang justru sudah dilaporkan sebelum dijawab oleh Plt Gubernur Aceh atau yang mewakilinya esok hari, Jumat (25/9).
Dengan begitu, publik sangat mungkin akan membaca bahwa saat ini sedang terjadi pertarungan ala “KAB – KAH” jelang agenda Pilkada 2022. Para politisi bisa jadi juga sangat mungkin sudah membaca bahwa dengan Covid-19 yang melahirkan kebijakan realokasi dan refocusing di tangan eksekutif maka tidak cukup menguntungkan lagi untuk melakukan “belanja politik anggaran” baik melalui pokir maupun melalui proyek APBA lainnya.
Apalagi dengan intensnya pengawasan dari inspektorat dan BPKP sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), termasuk KPK yang juga ikut melakukan supervisi, plus sistem penganggaran dan jadwalnya yang sudah teragenda secara sistematis terhadap RAPBA 2021.
Maka, dibanding melakukan “belanja politik anggaran” lebih terbuka jalan lempang untuk memulai sedini mungkin “belanja politik dukungan” lewat Roadmap Politik yang makin melemahkan KAH di mata publik.
Apakah dengan begitu akan terjadi “Aceh Hebat is dead?” Tentu saja tidak serta merta. Hal ini karena peraturan perundang-undangan sudah menutup celah bagi penghentian kerja pembangunan yang dijalankan oleh eksekutif.
Artinya, agenda Aceh Hebat masih akan terus berjalan meski dengan tertatih-tatih karena berpotensi untuk terus “dihadang” oleh legislatif. Begitu juga citra politik KAH tidak serta merta jatuh meski mungkin “babak belur” karena suasana batin politik di Aceh terbukti tidak pernah permanent apalagi selalu selaras dengan jalan pikir para politisi.
Di Aceh, selalu berlaku kejutan politik yang bahkan tidak cukup mampu dijangkau oleh batin profesor dibidang politik sekalipun, apalagi sekedar pemain politik yang membaca hati rakyat dari belakang meja makan.
Apapun itu, rakyat pasti masih membuka harapan, agar interpelasi esok hari, merujuk Pasal 72 angka (4) PP 12/2018, menghadirkan kejutan yang dapat memulihkan kemitraan legislatif dan eksekutif. Sebab, hakikat dari interpelasi adalah menghadirkan bahan rujukan bagi keduanya, bahan untuk DPR Aceh dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan untuk Kepala Daerah sebagai bahan dalam penetapan pelaksanaan kebijakan. []
Sumber bacaan:
Penjelasan Gubernur Terhadap Hak Interpelasi DPRA
https://modusaceh.co/news/hak-interpelasi-tanpa-politisi-pna-posisi-irwandi-sangat-babak-belur/index.html
https://www.google.co.id/amp/www.ajnn.net/news/tak-hanya-interpelasi-dpra-ancam-gulingkan-plt-gubernur-aceh/amp.html
Suhu Politik Makin Panas, DPRA Aceh Lapor KPK Terkait Proyek Multiyears