Pembahasan tentang Kebebasan atau Kemerdekaan (al-hurriyah) dalam terminologi sufistik selalu mendapat tempat khusus. Bahkan, banyak sufi menulis tentang kebebasan dan kemerdekaan dalam satu bab khusus di Kitab-kitab mereka. Sebut saja Imam Qushayri dengan kitab al Risalah al Qushayriyah, Ibn Arabi dalam kitab al Futuhat al Makkiyah, dan Imam al Muhasibi yang membahas secara khusus tentang kemerdekaan dalam kitabnya al Ri’ayah.
Bagi seorang sufi, Kemerdekaan dan Kebebasan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia terkait hubungannya antara alam dan Tuhan. Usaha untuk meliberalisasi diri (al taharrur) secara totalitas demi menjadi seorang manusia yang sempurna.
Ternyata, Tengku Hasan Muhammad di Tiro juga memiliki konsep tersendiri untuk menjadi seorang manusia merdeka. Jika Ibn Arabi kental dengan konsep Insan kamil atau Filsuf Iran Ali Syariati melekat dengan teori Rausyan Fikr-nya. Maka, Hasan Tiro memiliki konsep Kebebasan dan Kemerdekaan yang dikenal dengan Freeman (Manusia Merdeka).
Dalam Tiroisme, Kebebasan merupakan tujuan dari perjalanan seseorang untuk mencapai tujuan terakhir dalam mengenal eksistensi Khaliq. Sehingga, seseorang mampu melepaskan diri dari penghambaannya pada setiap makhluk. Maka, ajaran pertama dalam Tiroisme adalah Turi Dröe (Mengenali Diri), dengan media apapun mengenal diri sendiri adalah hal dasar untuk mengenal Tuhan. Man ‘Arafa Nafsah Faqad ‘Arafa Rabbah.
Tidak heran, dalam setiap diksi Tiro selalu menawarkan konsep bagaimana seorang manusia Aceh melihat dirinya. Eksistensialis dalam Tiroisme merupakan jalan pembuka untuk mencapai derajat Manusia Merdeka.
Dalam pandangan Tiro, seseorang yang ingin mencapai Maqam Kebebasan harus menempuh jalan terjal dan berat. Hal pertama yang harus dilalui adalah Bertanggung Jawab atas diri. Seseorang yang sudah mampu bertanggung jawab atas diri, maka ia akan mampu mengendalikan dirinya dan alam untuk ditundukkan. Bertanggung Jawab atas diri merupakan bentuk realisasi manusia dalam wujud kehambaan-nya untuk menciptakan harmonisasi antara diri dan Tuhan.
Kedua; Memelihara Nilai. Dalam Tiroisme, nilai adalah sesuatu yang harus dijaga. Baik nilai sebagai identitas berupa agama, sejarah, adat, budaya dan bahasa maupun nilai sebagai seorang manusia hamba. Ketiga; Melepaskan Diri. Salah satu bentuk Riadhah al Hurriyah dalam Tiroisme adalah seseorang mampu membebaskan diriya dari segala rasa. Baik rasa takut, dendam, benci, takabur, ujub, riya dan sifat penyakit hati lainnya.
Hal ini penting, menurut Tiro seseorang yang sudah mampu melepaskan dirinya dari segala hal (Freedom From), maka ia akan mampu dan hanya bisa mengikatkan dirinya pada Tuhan. Dari manifestasi inilah, seseorang akan mampu mencapai derajat akhir, yakni menghambakan diri kepada Tuhan.
Banyak orang luput, bahwa sosok Hasan Tiro merupakan seorang penganut nilai sufi yang kental. Ia mampu memadukan tashawwuf sebagai nilai untuk membebaskan diri dari setiap keteriakatan. Ia melawan setiap penghambaan diri dari makhluk dan ia tidak pernah sepakat untuk bernegosiasi dengan penghambaan pada setiap hamba.
Karena baginya, sebagaimana Al Junaid; Al Hurriyah Akhiru Maqam lil ‘Arif (Kebebasan adalah Penghentian terakhir seorang hamba menuju hakikat Tuhan). Inilah yang dikenal dalam Tiroisme sebagai nilai dan Maqam menuju Tauhid Pembebasan. []
Lon na lon dingee bak pasukan njang ka geuba latihan u tripoli.. wali geujok peurintah bahwa watee woe u nanggroe geuyu mermpok ngen ulama sufi…