
Muzakir Manaf atau yang disapa Mualem tiba-tiba berhenti membaca teks. Lembaran sambutan yang sudah disiapkan diletakkan di atas podium.
Mualem lalu bicara, dan dengan nada tenang, ia menyampaikan hasil renungannya, dan hadirin yang tadinya fokus menunggu tibanya waktu berbuka, menjadi bersemangat.
Sebagian peserta yang awalnya terlihat mengantuk, tersadar bahwa Mualem baru saja menyebut kata yang pernah menghentak elit nasional di tahun 1999 – 2000, yaitu referendum.
Ruang Amel Convention Hall yang tadinya tenang, menjadi ramai. Beberapa peserta merekam, dan kata referendumpun menyebar di ruang publik melalui media sosial, hingga sampai ke Jakarta, pusat kekuasaan dikendalikan.
Beberapa aktor yang ada di dalam lingkar kekuasaan langsung bereaksi. Dan, dua diantaranya adalah sosok yang pada masa Orde Baru dan sesudahnya juga pernah bersinggungan dengan Aceh, termasuk dengan pendekatan main gebuk, sebagaimana lazim dilakukan di masa Orde Baru.
Terbukti, Mualem langsung digebuk dengan narasi menuduh bahwa Mualem kecewa karena Prabowo, calon presiden yang didukungnya kalah, atau tuduhan karena Mualem tidak menang di Pilgub, juga berkurangnya kursi PA di Pileg 2019. Gebukan lain, beredar foto Mualem bersama salah seorang perempuan keluarga Cendana, dengan tatapan yang ditafsir mesra.
Gebukan lain lagi, Mualem hendak dilapor dengan tuduhan makar, hingga kemungkinan Mualem akan diproses sampai dengan diberi sanksi hukum, penjara.
Bahkan DPR pun ikut memberi sinyal, dengan cara meminta TNI untuk mengantisipasi perkembangan isu referendum. Jangan-jangan ke depan akan dikirim Pasukan Penindak Referendum Mualem – PPRM, dengan alasan untuk menggebuk para pengganggu keamanan oleh pendukung Mualem.
Beberapa orang juga berkicau tanpa perasaan, mempertanyakan uang nan berlimpah yang diberi pusat untuk Aceh, seraya lupa apa yang sudah dinikmati dari perut bumi negeri bertuah aulia ini. Beberapa lainnya merasa Aceh tidak tahu diri, seraya juga lupa diri akan jejak Aceh bagi keberadaan negeri yang akhirnya disepakati menjadi rumah bersama kita semua.
Sebagian publik di Aceh yang memiliki memori aksi refendum langsung teringat ke peristiwa heroik tahun 1999, yang kemudian menjadikan tahun berikutnya 2000 menjadi tahun yang disebut Otto Syamsuddin Ishak dalam tulisannya: tahun militerisme, sehingga Aceh terikat kakinya tidak bisa memasuki milenium baru.
Doeloe, di musim Mou Helsinki, para elit GAM pernah menyadari bahwa Indonesia belum mencapai taraf reformasi yang penuh sehingga terbebas dari hari-hari gelap Orde Baru, yang juga rajin menggebuk pihak pengganggu alias lawan.
Jakarta (baca: pusat) dinilai masih dikuasai beberapa aktor nasionalisme sempit yang dengan identitas tunggalnya, hanya punya satu solusi yaitu main gebuk.
Tetapi pihak GAM mulai membuka diri, mulai belajar menyakini bahwa perjanjian MoU Helsinki adalah satu langkah penting bagi Indonesia dalam menjauhkan diri dari hari-hari gelap Orde Baru yang akrab dengan aksi militeristiknya.
“Perdamaian adalah penting bagi Indonesia supaya ia bisa belajar untuk hidup tenang dengan segala betuk yang berbeda yang ada dalam dirinya,” Malik Mahmud memberi sambutan, kala itu seraya mempertegas bahwa Interpretasi nasionalis yang sempit tidak membenarkan adanya keadilan. Ia tidak membenarkan adanya demokrasi yang sejati.
Menariknya, usai Pilpres 2019, terlepas dari apapun penyebabnya, Mualem yang memiliki latar militer kombatan, justru tidak lagi hadir dengan narasi militerismenya, seperti perang alias naik gunung. Mualem justru bersedia meminjam wacana milik kaum sipil, referendum, dan karena disampaikan dihadapan Forkopimda, maka patutlah untuk dibaca bahwa Mualem sekedar sedang melakukan “cek ombak” terhadap Jakarta.
Dan, setelah melihat Jakarta panas meriang dengan segenap argumen politik dan cara pandang hukum, Mualem memilih untuk tidak lagi memberi komen. Mualem mungkin paham, bahwa laut kekuasaan Jakarta masih menyisakan ranjau Orde Gebuk, yang cukup berbahaya untuk dilewati oleh kapal pesiar demokrasi sejati Indonesia.
Sebuah kapal yang pernah dirindui Aceh paska berdamai, guna melewati perjalanan hidup bersama-sama untuk mewujudkan keadilan yang diyakini sebagai syarat mengakhiri segenap pendekatan politik kekerasan oleh sesama anak bangsa yang mendiami Indonesia, yang hari kemerdekaannya wujud di bulan ramadhan.
Cek ombakpun, selesai. Dan Aceh mulai merenung dalam rateb kebangsaan dan tidak ada yang tahu, ilham apa yang bakal diperlihatkan. Sementara itu, di media sosial, Jakarta sedang memasuki tahapan berdamai sambil memperbincangkan posisi dikekuasaan, dan beralihnya titik pake, dari TKN vs BPN ke sesama anggota koalosi. Dan, publik masih dalam perangkap cebong vs kampret. Aceh?!